Selamat Datang di website Balai Penyuluhan Pertanian Kapanewon Nanggulan Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta.....................

Jumat, 26 November 2010

Koordinasi membahas dampak kekeringan tanaman padi MT I/2010 akibat erupsi Merapi di BPP Nanggulan

Sebagai tindak lanjut koordinasi tgl 24/11-2010 di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo, BPP Nanggulan bekerja sama dengan Camat Nanggulan, Kantor KP4K dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kulon Progo telah menyelenggarakan kegiatan koordinasi membahas dampak kekeringan pertanaman padi  MT I/2010 sebagai akibat tidak langsung bencana alam erupsi  gunung Merapi beberapa waktu yang lalu dengan pokok bahasan : 
  1. Penjelasan, 
  2. Identifikasi masalah, dan 
  3. Rencana tindak lanjut  agar tanaman padi MT I/2010 tetap berproduksi dan tidak mengganggu pola tanam MT berikutnya.
Hadir, dalam koordinasi ini adalah : Camat Nanggulan  (L.Bowo Ristiyanto), Koordinator BPP/lengkap dengan Tim Penyuluhnya, Petugas Pengolah Penyaji Data Tanaman Pangan, Petugas POPT, Kepala Desa/Kaur Bang dan Wakil Kelompok Tani yang telah tebar benih namun belum tanam dan tamu undangan lainnya.
Kesepakatan yang dihasilkan adalah :
  1. Koordinasi ditindak lanjuti di tingkat Desa/Kelompoktani
  2. Gerakan pengendalian angge-angge (anjing tanah) pada tanaman padi
  3. (DISIPLIN) waktu tanam sesuai Sk Bupati Kulon Progo tentang Tata tanam tahunan
  4. Benih yg ada (umur tua) tetap diupayakan untuk ditanam pada lahan yang belum tanam akibat kekeringan
  5. Managemen pemanfaatan air hujan, agar tanaman dapat terselamatkan dan berproduksi
  6. Bantuan alat berat unuk membuat terowongan kali Songgo akan dikoordinasikan oleh Camat Nanggulan dengan 1 unit bego
  7. Bantuan pinjaman pompa air dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo sebanyak 5 unit segera hari ini juga direalisasikan 
  8. Berbagai upaya telah, sedang dan akan dilaksanakan Pemerintah dan petani dengan satu harapan agar tanam padi MT I/2010 dapat berproduksi secara maksimal. Amin…

Senin, 22 November 2010

Penebaran bibit ikan lele Sangkuriang oleh Bupati Kulon Progo

Penyerahan bantuan penguatan modal dari Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta secara simbolis dilakukan dengan tebar benih ikan lele Sangkuriang oleh Bupati Kulon Progo, H. Toyo Santosa Dipo kepada Forum Silaturahmi Pokdakan Kulon Progo di Pokdakan Argomino, Dengok, Tanjungharjo, Nanggulan, Kulon Progo.
 

Selasa, 16 November 2010

Pengerukan intake saluran irigasi Kalibawang

 
Erupsi Merapi pada awal November 2010 selain menimbulkan korban jiwa warga sekitar lereng Merapi, juga menimbulkan hujan abu vulkanik di sekitar kabupaten Kulon Progo, serta penimbunan material lahar dingin di saluran irigasi Kalibawang, baik yang menuju wilayah Kulon Progo maupun kota Yogyakarta, sehingga kedua saluran irigasi ini mati total. 
Berbagai upaya pun telah dilakukan oleh Dinas terkait. Tampak dalam gambar di antaranya pengerukan material yang menutupi intake saluran irigasi Kalibawang untuk wilayah Kulon Progo menggunakan  3 buah alat berat. Pengerukan saluran yang normalnya berdebit 7000 liter/detik ini dijadwalkan dalam 25 hari kalender, namun diharapkan selesai dalam 14 hari mengingat pentingnya saluran irigasi tersebut untuk mencukupi kebutuhan air bagi tanaman padi di wilayah kecamatan Kalibawang, Nanggulan, dan Sentolo yang telah memasuki awal musin tanam.

Senin, 15 November 2010

Tikus Sawah dan Cara Pengendaliannya

 
Status
Merupakan hama prapanen utama penyebab kerusakan terbesar tanaman padi, terutama pada agroekosistem dataran rendah dengan pola tanam intensif. Tikus sawah merusak tanaman padi pada semua stadia pertumbuhan dari semai hingga panen (periode prapanen), bahkan di gudang penyimpanan (periode pascapanen).

Kerusakan parah terjadi apabila tikus menyerang padi pada stadium generatif, karena tanaman sudah tidak mampu membentuk anakan baru. Ciri khas serangan tikus sawah adalah kerusakan tanaman dimulai dari tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir, sehingga pada keadaan serangan berat hanya menyisakan 1-2 baris padi di pinggir petakan.
Biologi dan Ekologi
Tikus sawah digolongkan dalam kelas vertebrata (bertulang belakang), ordo rodentia (hewan pengerat), famili muridae, dan genus Rattus. Tubuh bagian dorsal/ punggung berwarna coklat kekuningan dengan bercak-bercak hitam di rambut-rambutnya, sehingga secara keseluruhan tampak berwarna abu-abu. Bagian ventral/perut berwarna putih keperakan atau putih keabu-abuan. Permukaan atas kaki seperti warna badan, sedangkan permukaan bawah dan ekornya berwarna coklat tua. Tikus betina memiliki 12 puting susu (6 pasang), dengan susunan 1 pasang pada pektoral, 2 pasang pada postaxial, 1 pasang pada abdomen, dan 2 pasang pada inguinal. Pada tikus muda/predewasa terdapat rumbai rambut berwarna jingga di bagian depan telinga. Ekor tikus sawah biasanya lebih pendek daripada panjang kepala-badan dan moncongnya berbentuk tumpul.
Panca indera tikus sawah berkembang baik dan sangat menunjang setiap aktivitas kehidupannya. Sebagai hewan nokturnal, mata tikus telah berkembang dan menyesuaikan untuk melihat dalam intensitas cahaya rendah. Indera penciuman berkembang baik. Dengan indera tersebut, tikus mendeteksi wilayah pergerakan tikus lain, jejak anggota kelompoknya, dan betina estrus. Indera pendengaran tikus sawah berkembang sempurna. Indera pengecap berkembang baik sehingga mampu mendeteksi rasa pahit, racun, dan enak/tidaknya suatu pakan. Indera peraba juga berkembang baik, kumis dan rambut-rambut panjang pada sisi tubuhnya digunakan sebagai sensor sentuhan terhadap benda-benda yang dilalui. Dengan indera yang berkembang dan terlatih tersebut, tikus sawah memiliki kemampuan fisik yang prima seperti berlari, menggali, memanjat, meloncat, melompat, mengerat, berenang, dan menyelam. Tikus sawah juga berperilaku cerdik dan memiliki kemampuan belajar/mengingat (meskipun terbatas).
Tikus sawah mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Periode perkembang-biakan hanya terjadi pada saat tanaman padi periode generatif. Dalam satu musim tanam padi, tikus sawah mampu beranak hingga 3 kali dengan rata-rata 10 ekor anak per kelahiran. Tikus betina relatif cepat matang seksual (±1 bulan) dan lebih cepat daripada jantannya (±2-3 bulan). Cepat/lambatnya kematangan seksual tersebut tergantung dari ketersediaan pakan di lapangan. Masa kebuntingan tikus betina sekitar 21 hari dan mampu kawin kembali 24-48 jam setelah melahirkan (post partum oestrus). Terdapatnya padi yang belum dipanen (selisih hingga 2 minggu atau lebih) dan keberadaan ratun (Jawa : singgang) terbukti memperpanjang periode reproduksi tikus sawah. Dalam kondisi tersebut,anak tikus dari kelahiran pertama sudah mampu bereproduksi sehingga seekor tikus betina dapat menghasilkan total sebanyak 80 ekor tikus baru dalam satu musim tanam padi. Dengan kemampuan reproduksi tersebut, tikus sawah berpotensi meningkatkan populasinya dengan cepat jika daya dukung lingkungan memadai.
Tikus sawah bersarang pada lubang di tanah yang digalinya (terutama untuk reproduksi dan membesarkan anaknya) dan di semak-semak (refuge area/habitat pelarian). Sebagai hewan omnivora (pemakan segala), tikus mengkonsumsi apa saja yang dapat dimakan oleh manusia. Apabila makanan berlimpah, tikus sawah cenderung memilih pakan yang paling disukainya yaitu padi. Tikus menyerang padi pada malam hari. Pada siang harinya, tikus bersembunyi di dalam lubang pada tanggul-tanggul irigasi, jalan sawah, pematang, dan daerah perkampungan dekat sawah. Pada saat lahan bera, tikus sawah menginfestasi pemukiman penduduk dan gudang-gudang penyimpanan padi dan akan kembali lagi ke sawah setelah pertanaman padi menjelang generatif.
Kehadiran tikus pada daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran/feses, lubang aktif, dan gejala serangan.
Pengendalian
Pengendalian tikus dilakukan dengan pendekatan PHTT (Pengendalian Hama Tikus Terpadu) yaitu pendekatan pengendalian yang didasarkan pada pemahaman biologi dan ekologi tikus, dilakukan secara dini, intensif dan terus menerus dengan memanfaatkan semua teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan pengendalian dilakukan oleh petani secara bersama-sama dan terkoordinasi dengan cakupan wilayah sasaran pengendalian  dalam skala luas.
Kegiatan pengendalian tikus ditekankan pada awal musim tanam untuk menekan populasi awal tikus sejak awal pertanaman sebelum tikus memasuki masa reproduksi. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan gropyok masal, sanitasi habitat, pemasangan TBS dan LTBS. Gropyok dan sanitasi dilakukan pada habitat-habitat tikus seperti sepanjang tanggul irigasi, pematang besar, tanggul jalan, dan batas sawah dengan perkampungan. Pemasangan bubu perangkap pada pesemaian dan pembuatan TBS (Trap Barrier System / Sistem Bubu Perangkap) dilakukan pada daerah endemik tikus untuk menekan populasi tikus pada awal musim tanam.
Kegiatan pengendalian yang sesuai dengan stadia pertumbuhan padi antara lain sbb. :
TBS merupakan petak tanaman padi dengan ukuran minimal (20 x 20)m yang ditanam 3 minggu lebih awal dari tanaman di sekitarnya, dipagar dengan plastik setinggi 60 cm yang ditegakkan dengan ajir bambu pada setiap jarak 1 m, bubu perangkap dipasang pada setiap sisi dalam pagar plastik dengan lubang menghadap keluar dan jalan masuk tikus. Petak TBS dikelilingi parit dengan lebar 50 cm yang selalu terisi air untuk mencegah tikus menggali atau melubangi pagar plastik. Prinsip kerja TBS adalah menarik tikus dari lingkungan sawah di sekitarnya (hingga radius 200 m) karena tikus tertarik padi yang ditanam lebih awal dan bunting lebih dahulu, sehingga dapat mengurangi populasi tikus sepanjang pertanaman.
LTBS merupakan bentangan pagar plastik sepanjang minimal 100 m, dilengkapi bubu perangkap pada kedua sisinya secara berselang-seling sehingga mampu menangkap tikus dari dua arah (habitat dan sawah). Pemasangan LTBS dilakukan di dekat habitat tikus seperti tepi kampung, sepanjang tanggul irigasi, dan tanggul jalan/pematang besar. LTBS juga efektif menangkap tikus migran, yaitu dengan memasang LTBS pada jalur migrasi yang dilalui tikus sehingga tikus dapat diarahkan masuk bubu perangkap.
Fumigasi paling efektif dilakukan pada saat tanaman padi stadia generatif. Pada periode tersebut, sebagian besar tikus sawah sedang berada dalam lubang untuk reproduksi. Metode tersebut terbukti efektif membunuh tikus beserta anak-anaknya di dalam lubangnya. Rodentisida hanya digunakan apabila populasi tikus sangat tinggi, dan hanya akan efektif digunkan pada periode bera dan stadium padi awal vegetatif.